Noor Aubie atau akrab dipanggil Aubie,
dilahirkan di utara Toronto. Meski punya dua orang saudara, gadis Kanada
ini merasa sering kesepian dan bermain sendiri. Ia juga punya imajinasi
yang besar, sehingga pada usia 4 tahun telah bertanya tentang Tuhan
yang tak terjawab oleh orang tuanya.
Aubie merasa mendapatkan perhatian ibunya
hanya pada hari Minggu. Karena di hari itu, mereka bersama-sama pergi
ke gereja. “Aku dulu suka pergi ke gereja, mendengarkan khotbah dan
menatap salib besar,” kata Aubie saat menceritakan kisah nyata
perjalanannya menemukan hidayah.
Memasuki masa remaja, Aubie menjadi suka
memberontak. Perlakuan kasar sang ayah dan kurangnya perhatian ibu
membuatnya mulai membenci keluarganya. Sebagai pelarian, Aubie banyak
menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Dan mulailah Aubie
bersinggungan dengan minuman keras dan obat-obatan.
Untunglah, fitrah Aubie masih cukup
dominan. Saat berusia 18 tahun, ia terdorong untuk menjadi relawan
pemerintah. Pilihannya ini juga menjadi solusi baginya untuk berpisah
dengan keluarganya yang ia rasa tidak mempedulikannya.
“Aku meninggalkan rumah ketika aku
berusia 18 tahun dan bepergian dengan sekelompok relawan yang disponsori
pemerintah selama satu tahun,” imbuhnya. Sekembalinya ke rumah, Aubie
masuk ke perguruan tinggi sambil bekerja di instansi pemerintah yang
menangani anak-anak bermasalah.
“Selama aku bekerja di dua instansi
pemerintah yang berbeda, aku melihat semua jenis anak-anak dilecehkan
dan rusak. Ini benar-benar membuat jiwaku menderita”, ujarnya.
Ingin bunuh diri
Beban berat yang dirasakannya membuat Aubie yang saat itu telah berusia 25 tahun menjadi depresi.
“Satu malam di musim semi, aku memutuskan
untuk bunuh diri. Aku menyiapkan kamar mandi dengan handuk dan berlari
menuju air panas di wastafel. Aku mengambil pisau tajam dan mencoba
mengiris pergelangan tanganku. Keluar sedikit darah. Tiba-tiba aku
berteriak kesakitan dan rasa takut menghinggapiku. Aku takut pada Tuhan
bahwa aku telah menyerah,” katanya menceritakan upaya bunuh diri.
Hari Minggu, Aubie kembali ke gereja.
“Aku menangis setiap hari Minggu selama satu bulan, dan kemudian aku
mulai belajar mendalami ajaran Kristen di Gereja Anglikan”, ucapnya.
Mengkaji Islam setelah peristiwa 9/11
Pada 11 September 2001, seluruh dunia
seakan berubah bagi Aubie. “Aku sangat terkejut dan ngeri. Aku merasa
seolah-olah Tuhan menamparku. Peristiwa itu tak pernah dapat dibayangkan
sebelumnya. Aku pun takut, seperti orang lain. Lalu aku mulai
bertanya-tanya tentang apa dikatakan media”, ujarnya mengenang saat itu.
Sebagai seorang wanita yang kritis, Aubie
tidak percaya begitu saja dengan media. Terlebih, ia memiliki
teman-teman muslim yang sama sekali berbeda dengan apa yang disuguhkan
media.
“Aku melihat teman-temanku yang Muslim di
tempat kerja. Mereka orang-orang baik, bukan teroris. Aku mulai
berbicara dengan mereka. Pada awalnya, aku tertarik pada aspek
geopolitik apa yang sedang terjadi. Mengapa “mereka” membenci” kita?
Kemudian aku menemukan apa yang dilakukan pemerintah Barat di Timur
Tengah dan Afrika Utara selama berabad-abad. Tidak heran mereka membenci
kita” jelasnya.
Aubie kemudian melakukan penelitian
tentang Islam. “Ide-ide Islam mulai merayap ke dalam pikiranku. Aku
mencari orang-orang yang bisa membantuku di daerah ini. Alhamdulillah,
akh Mohamed Saffie bersedia mengajariku bahasa Arab dasar.”
Nangis saat mendengar adzan
Semakin mempelajari Islam, Aubie semakin
tertarik. Terlebih setelah ia mendapatkan terjemahan Qur’an dalam bahasa
Inggris dari Quran. “Aku sangat tertarik dengan kitab ini. Rasanya
seperti kata-kata yang aku cari selama ini,” tambahnya.
Dalam masa meneliti Islam itu, Aubie
mendengarkan adzan dari sebuah masjid di daerah yang ia kunjungi. Entah
mengapa, ia tiba-tiba menangis saat mendengar panggilan shalat tersebut.
“Perasaanku seperti bercampur antara kegembiraan dan kesedihan. Aku hanya ingin menangis dan menangis…”, jelasnya.
Pada tahun itu, 2003, Aubie pun
bersyahadat. Namun, secara terbuka ia baru memproklamirkan diri di
Masjid Damaskus pada 1 Januari 2006 silam. Dalam rentang masa itu ia
dibimbing oleh ulama Masjid Toronto, Imam Hamid Slimi.
Menjadi mualaf bukan hal yang mudah bagi
Aubie. Ia mendapat penentangan dari keluarga, teman dan lingkungannya.
Ia kembali menjadi terasing, bahkan lebih terasing dari masa kecilnya.
Ia ditertawakan, dicemooh dan dimaki. Kendati demikian, Aubie yang telah mendapatkan nama Islam Noor Aubie tetap teguh dalam keislamannya. “Sebab aku tahu apa yang benar,” tegasnya.
Nama Noor pada Noor Aubie, menurutnya diambil dari surat Quran ke 24, An Nur, khususnya ayat ke 35, yang berbunyi:
“Allah, Pemberi cahaya
kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, yaitu
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula
di sebelah baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya berlapis-lapis, Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Pada ayat diatas, yang dimaksud “lobang
yang tidak tembus” (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang
tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu,
atau barang-barang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di
sebelah baratnya adalah: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit dimana
ia mendapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu
matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya
menghasilkan minyak yang baik. Subhanallah. (OnIslam.net)
0 Response to "Noor Aubie, Mau Bunuh Diri Yang Kemudian Menangis Saat Dengar Adzan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.