Sang ayah meninggalkan harta waris yang
lumayan besar kepada anak semata wayang dan istrnya ketika meninggal
dunia. Harta itu digunakan dengan amat baik hingga berguna untuk
membiayai pendidikan anak laki-lakinya sampai lulus. Takdir semakin
berpihak pada keluarga itu ketika si Tamo, sebut saja begitu, berhasil
mendapatkan pekerjaan bergengsi dengan gaji besar.
Kehidupan keluarga kecil itu makin
bersinar seiring berjalannya masa. Sang ibu yang menginginkan
kebahagiaannya makin sempurna bergegas mencarikan calon istri untuk
Tamo, anak kebanggaannya. Meski pilihannya tak disetujui, Tamo akhirnya
menikah dengan wanita baik hati dan dikaruniai dua anak yang menyejukkan
pandangan.
Wanita baik hati ini benar-benar
menyayangi kedua cucunya, melebihi rasa sayang kedua orang tuanya.
Namun, seiring berlalunya masa, usia senja memang tak bisa dipungkiri.
Di sinilah, kisahnya bermula.
Tamo merasa kerepotan dengan ulah ibunya
yang sudah senja. Dia tak bisa mengurus dan enggan menyewa pembantu.
Akhirnya, sang bunda yang baik hati dikirim ke panti jompo. Dalihnya,
negara menyediakan fasilitas. Harus dimanfaatkan. Padahal, harta Tamo
amat banyak. Sangat bisa jika hanya menyewa pembantu di rumahnya.
Mendengar langkah yang diambil Tamo,
sebagian kerabat dan tetangga menyatakan ketidaksetujuan. Mengirim ibu
kandung ke panti jompo adalah tindakan buruk yang mencerminkan
kedurhakaan.
Tamo merasa sesak. Serasa terjepit. Tapi,
pendiriannya kokoh. Akhirnya, dia mendatangi salah satu sahabat
curhatnya. Selepas mengeluhkan perlakuan kerabatnya, sahabat curhat yang
diharapkan mendukung justru mencela tindakan Tamo.
Tamo semakin kesal. Marah besar. Lantas
meninggalkan rumah sahabatnya tanpa mengubah pendiriannya. Ibunya tetap
ditaruh di panti jompo tanpa dijenguk dan diperhatikan. Padahal, wanita
suci itu dalam kondisi sakit akut.
Berjalannya masa digunakan Tamo untuk
semakin menyibukkan diri dalam pekerjaannya. Bahkan, tatkala sampai
kabar bahwa ibunya tengah mengalami sakaratul maut, dia pergi ke luar
negeri tanpa sepengetahuan keluarga dan orang dekatnya.
Lepas selesai seluruh urusan terkait
jenazah, Tamo pulang dengan perasaan datar. Seperti tidak terjadi
apa-apa di keluarganya. Dia tidak sadar. Ada azab pedih yang telah
disediakan oleh Allah Ta’ala, di dunia ini. Dalam waktu dekat.
Istri yang disayanginya dan anak
bungsunya mengalami kecelakaan amat tragis. Tidak banyak kisah, keduanya
meninggal di tempat kecelakaan. Tamo hanya bisa menangis layaknya
menyesali mentari sore yang mustahil kembali ke arah timur.
Belum sembuh luka perih nan pedih itu,
anak pertama yang dijadikan sebagai tangan kanan untuk mengurusi seluruh
usahanya juga menderita sakit. Sakitnya aneh. Tidak diketahui
penyakitnya. Dia berkeliling dari satu negara ke negara lain untuk
memberikan pengobatan. Tapi, semuanya percuma.
Tinta taqdir telah mengering. Semuanya
tak bisa dikembalikan. Anak sulungnya meninggal mengenaskan. Tamo
semakin terpuruk ketika melihat usahanya hancur. Karayawannya kabur,
asetnya dimaling oleh staf dan orang-orang kepercayaan. Semua yang dia
bangun runtuh seketika tepat di hadapannya. Dia tak kuasa berbuat
apa-apa.
Ya Allah, ampunilah dosa kami dan dosa
kedua orang tua kami. Sayangilah keduanya sebagaimana sayang keduanya
kepada kami tatkala kami masih belia. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
0 Response to "Kisah Anak Durhaka yang Diazab Pedih di Dunia"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.